La Upe

Dikisahkan, ada seorang anak yang baik hati dan patuh bernama La Upe. Ia tinggal bersama ayah dan ibu tirinya setelah ibunya meninggal dunia. Dahulu, hidupnya penuh kehangatan, tetapi semuanya berubah saat ayahnya menikah lagi. Ibu tirinya pemarah dan tidak sabaran. Tidak peduli seberapa keras La Upe berusaha menyenangkan hatinya, semua terasa sia-sia. Jika ia melakukan kesalahan sekecil apa pun, ibu tirinya akan memarahinya dengan kasar, bahkan kadang memukulnya tanpa belas kasihan. Ayahnya, yang sering pergi bekerja, tidak mengetahui penderitaan yang dialami La Upe di rumahnya sendiri.

Suatu sore, ibu tirinya memanggilnya dengan suara tajam. Di menyuruh La Upe pergi ke sungai dan tangkap beberapa ikan. Ibu tirinya ingin memasak makan malam malam. Tanpa ragu, La Upe menurut. Ia mengambil pancingnya dan berjalan menuju tepi sungai. Matahari tergantung rendah di langit, memantulkan cahaya keemasan di permukaan air. La Upe melemparkan kailnya dan menunggu. Waktu berlalu, tetapi tidak ada satu pun ikan yang memakan umpannya. Perutnya mulai keroncongan, dan rasa lelah menjalar ke tubuhnya. Ia menghela napas, bergeser gelisah di tepi sungai, bertanya-tanya apakah ia harus pulang dengan tangan kosong.

Saat ia hampir menyerah, tiba-tiba kail pancingnya bergerak liar di tangannya. Jantungnya berdegup kencang, sesuatu telah memakan umpannya. Dengan sekuat tenaga, ia menarik tali pancingnya, berjuang melawan beban berat di ujung sana. Air sungai bergejolak hebat, dan lengannya bergetar karena usaha kerasnya.

Lalu, dengan satu tarikan terakhir, ia berhasil mengangkat tangkapannya dari dalam air seekor ikan besar yang berkilauan. Sisiknya yang berwarna perak berkilau seperti logam yang dipoles, dan matanya tampak menyimpan kecerdasan yang luar biasa. Rasa lelah La Upe seketika menghilang, digantikan oleh rasa takjub.

Namun, saat ia hendak memasukkan ikan itu ke dalam keranjang, sesuatu terjadi yang membuatnya membeku dalam keterkejutan. Ikan itu berbicara. Mata La Upe membelalak karena terkejut. Tangannya gemetar saat ia memegang ikan besar itu. Ikan itu telah berbicara.

Ikan itu meminta La Upe agar melepaskannya, dan ikan itu mengaku dia adalah Raja Ikan. Jika La Upe menyelamatkan nyawanya, dia akan memberi kekuatan besar. Dengan kekuatan itu, maka La Upe akan mampu melakukan apa pun yang dia inginkan.

La Upe ragu, jantungnya berdebar kencang. La Upe menatap sisik ikan yang berkilauan, matanya yang penuh kebijaksanaan seakan menatap langsung ke dalam jiwanya. Entah mengapa, ia merasakan kepercayaan aneh terhadap makhluk itu. Dengan menarik napas dalam, ia perlahan melonggarkan genggamannya dan dengan lembut menurunkan ikan itu kembali ke air. Ikan itu mengibaskan ekornya, menciptakan riak yang beriak di permukaan sungai. La Upe berdiri dalam diam, menatap air yang kini kembali tenang.

Saat matahari tenggelam di balik cakrawala, La Upe berjalan pulang dengan langkah gontai. Perutnya keroncongan, dan hatinya semakin berat. Ia tahu ibu tirinya tidak akan senang. Begitu ia melangkah masuk ke rumah, suara tajam ibu tirinya langsung memenuhi udara.

Wajah ibu tirinya berubah merah padam karena marah. Tanpa sepatah kata lagi, ia meraih sendok kayu, mengangkatnya tinggi untuk memukul La Upe. Naluri membuat La Upe melangkah mundur, rasa takut mencengkeram dadanya.

Lalu, tiba-tiba ia teringat kata-kata Raja Ikan, bahwa ia memiliki kekuatan. Dengan putus asa, La Upe berseru agar ibu tirinya terjebak di pintu dengan kekuatan Raja Ikan. Seketika, hembusan kekuatan tidak terlihat menyapu ruangan. Ibu tiri La Upe terkejut saat mendapati dirinya membeku di tempat, tangannya menempel di pintu kayu. Ia meronta, tetapi seolah ada kekuatan tidak kasat mata yang menahannya di sana.

Amarahnya berubah menjadi kepanikan. Ibu tirinya memohon agar La Upe melepaskannya, dan dia berjanj akan baik dan tidak akan pernah menyakiti La Upe lagi. La Upe menatapnya sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. Dengan menarik napas dalam, ia berbicara sekali lagi agar ibu tirinya bebas dengan kekuatan Raja Ikan.

Sekejap, kekuatan yang menahannya lenyap. Ibu tirinya terhuyung ke depan, napasnya memburu, tangannya masih gemetar. Namun kali ini tidak ada lagi amarah di matanya, hanya kelegaan dan rasa syukur. Sejak hari itu, ibu tiri La Upe menepati janjinya. Ia memperlakukan La Upe dengan baik, tidak pernah lagi membentak atau menyakitinya. Namun jauh di lubuk hatinya, La Upe tahu bahwa kekuatan ini bisa mengubah hidupnya selamanya. Hanya saja, ia belum tahu seberapa besar perubahan itu.

Suatu saat kabar tentang penyakit sang putri menyebar seperti api ke seluruh negeri. Sang raja, yang dikenal akan kekuatan dan kebijaksanaannya, kini berdiri tidak berdaya menghadapi kekuatan yang tidak dapat ia lawan. Putrinya, cahaya kerajaan, terbaring lemah di kamarnya, pucat dan tidak berdaya.

Tabib-tabib terbaik dari seluruh penjuru negeri datang ke istana, membawa ilmu dan ramuan mereka, namun tidak satu pun mampu menyembuhkannya. Keputusasaan memenuhi hati sang raja. Dalam upaya terakhir untuk menyelamatkan putrinya, ia membuat pengumuman.

Siapa pun yang dapat menyembuhkan putrinya akan mendapat ganjaran. Jika seorang pria, ia akan menikahi sang putri dan menjadi ahli warisnys. Jika seorang wanita, ia akan menjadi anak tiriku dan hidup di istana dengan kehormatan.

Harapan pun menyala di hati banyak orang. Para tabib, cendekiawan, bahkan penyihir berbondong-bondong datang ke istana, berlomba-lomba membuktikan kehebatan mereka. Namun satu per satu, mereka gagal. Sang putri tetap terbaring sakit, bahkan keadaannya semakin memburuk.

Jauh dari istana, La Upe mendengar pengumuman sang raja. Ia memikirkan kekuatan yang telah dianugerahkan kepadanya oleh Raja Ikan. Dengan tekad yang kuat, La Upe berangkat menuju istana. Setibanya di sana, para pengawal sempat ragu. Ia bukan seorang tabib terkenal, hanya seorang pemuda sederhana dari pedesaan. Namun, sang raja, yang sudah putus asa, bersedia memberinya kesempatan.

La Upe dibawa melewati aula-aula megah istana, melewati permadani emas dan pilar marmer yang menjulang tinggi, hingga akhirnya ia tiba di kamar sang putri. Sang putri terbaring lemah, nyaris tidak bernapas. Pipinya yang dulu merona kini pucat seperti salju, udara di dalam ruangan dipenuhi kesedihan. Para pelayan dan dayang menatap dengan cemas saat La Upe melangkah mendekat.

La Upe menarik napas dalam dan dengan lembut meletakkan tangannya di dahi sang putri. Kemudian, dengan suara penuh keyakinan, ia mengucapkan biarlah sang putri sembuh dengan kekuatan Raja Ikan. Cahaya keemasan yang lembut memenuhi ruangan, berputar di sekitar sang putri seperti hembusan angin yang menenangkan. Suara terkejut memenuhi udara saat kulit pucat sang putri perlahan mendapatkan kembali warnanya, tubuhnya yang lemah mulai menguat di depan mata semua orang.

Perlahan, sang putri membuka matanya, berkedip kebingungan seolah baru terbangun dari mimpi panjang. Ia duduk dan menatap wajah-wajah terkejut di sekelilingnya. Lalu, ia menoleh ke arah La Upe. Suaranya tidak lagi lemah, melainkan penuh kehidupan.

Air mata kebahagiaan menggenang di mata sang raja. Ia segera berlari mendekati putrinya dan memeluknya erat. Sang raja menoleh ke arah La Upe, wajahnya dipenuhi rasa syukur dan kekaguman. Dengan jujur, La Upe menceritakan segalanya tentang kehidupannya yang sulit, ibu tirinya yang kejam, dan pertemuan ajaibnya dengan Raja Ikan.

Sang raja mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya tersentuh oleh kebaikan dan kerendahan hati pemuda itu.  Sesuai janjinya, sang raja mengadakan perayaan pernikahan yang megah. Seluruh kerajaan bersuka cita, karena bukan hanya sang putri yang telah sembuh, tetapi juga telah menemukan seorang suami berhati emas.

Tahun-tahun pun berlalu, dan ketika sang raja yang tua akhirnya berpulang, La Upe naik takhta. Ia memerintah dengan keadilan dan kebijaksanaan, selalu mengingat kesulitan yang pernah ia alami di masa lalu. Dengan sang putri di sisinya, ia membawa kerajaannya ke era kedamaian dan kemakmuran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *