Asal Usul Nama Trenggalek

Pada zaman dahulu, ada sepasang suami istri bernama Ki Ageng Sinawang dan Raden Ayu Saraswati yang merawat seorang bayi laki-laki bernama Menak Sopal. Tidak seperti bayi pada umumnya, Menak Sopal terbilang cukup aneh. Sebab setiap malam hari saat  sedang tidur, tubuhnya akan mengeluarkan sebuah sinar terang. Orang tua Menak Sopal kemudian mempercayai bahwa sinar itu menandakan, bahwa kelak Menak Sopal akan menjadi seorang pemuda yang hebat. Dugaan mereka pun benar. Setelah Menak Sopal beranjak dewasa, ia tumbuh menjadi pria yang sangat suka menolong dan memiliki keahlian malih rupa (berubah wujud).

Pada suatu hari, penduduk di sekitar tempat tinggal Menak Sopal di Padepokan Sinawang mengalami masalah kekurangan air. Karena masalah ini, mereka sering rebutan air di tepi Sungai Bagong. Hal ini pun lantas membuat Menak Sopal ingin menolong mereka. Tanpa berpikir lama, Menak Sopal segera menyelidiki keadaan di sekitar Sungai Bagong. Beberapa hari setelahnya, ia memutuskan untuk membendung airnya. Tidak sendirian, Menak Sopal mengajak para pemuda di Padepokan Sinawang untuk membantunya membangun bendungan air itu. Tidak butuh waktu lama, Menak Sopal dan para pemuda berhasil menyelesaikan pembangunan bendungan.

Namun, saat baru saja selesai tiba-tiba bendungan itu rusak. Menak Sopal bersama para pemuda bergegas memperbaiki bendungan itu, namun rusak kembali. Ternyata, penyebab bendungan air itu sering rusak adalah karena adanya seekor buaya putih besar yang sering merusak bendungan dengan kibasan ekornya. Salah satu syarat agar buaya putih itu berhenti merusak bendungan adalah dengan memakan seekor kepala gajah putih, dan satu-satunya orang yang memiliki gajah putih di daerah itu adalah Mbok Randa yang tinggal di Desa Krandon.

Menak Sopal pun segera berangkat untuk menemui Mbok Randa. Setibanya di rumah Mbok Randa, Menak Sopal mengutarakan keinginannya untuk meminjam gajah putih miliknya selama tiga hari. Menak Sopal juga menyatakan dengan tegas, bahwa Padepokan Sinawang akan bertanggung jawab penuh atas si gajah putih milik Mbok Randa.

Pada akhirnya, Mbok Randa bersedia meminjamkan gajah putih miliknya. Segera setelah Menak Sopal kembali ke desanya, gajah putih itu disembelih dan kepalanya dilempar ke Sungai Bagong untuk dimakan buaya putih. Setelah itu, bendungan kembali dibagun dan dapat berdiri dengan kokoh untuk menampung air dari Sungai Bagong.

Tiga hari sudah berlalu, Mbok Randa masih menunggu Menak Sopal mengembalikan gajah putihnya. Namun, satu bulan berlalu, si gajah putih masih belum kembali ke pemiliknya. Mbok Randa yang marah pun segera mengumpulkan massa untuk menyerbu Padepokan Sinawang. Di tengah perjalanan, Mbok Randa tidak sengaja bertemu dengan Menak Sopal dan langsung menanyakan keberadaan gajah putihnya. Dengan jujur, Menak Sopal menjawab bahwa gajah putihnya sudah disembelih dan kepalanya diberikan kepada buaya putih untuk dimakan.

Sayangnya, Mbok Randa tidak mempercayai cerita itu, sehingga ia menyuruh anak buahnya mengejar Menak Sopal. Menak Sopal pun kabur dan terjun ke dalam bendungan. Sementara itu, Mbok Randa melanjutkan perjalanannya ke Padepokan Sinawang dan bertemu dengan Ki Ageng Sinawang. Ki Ageng Sinawang menjelaskan hal yang serupa dengan penjelasan Menak Sopal. Setelah mengetahui hal tersebut, Mbok Randa pun mengikhlaskan kepergian si gajah putih. Ki Ageng Sinawang juga mengatakan jika Padepokan Sinawang sudah ramai, ia akan menamainya menjadi Teranging Galih, yang kemudian lahir sebutan Trenggalek.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *