
Dikisahkan, di sebuah daerah di Bengkulu Selatan, Indonesia, tepatnya di daerah merambung kecamatan ulu manna, ada sebuah kerajaan bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano. Raja Bikau Bermano memiliki delapan orang putra. Pada suatu waktu, Raja Bikau Bermano melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri Jinggai. Awalnya, pelaksanaan upacara tersebut berjalan lancar. Namun, saat Gajah Meram bersama calon istrinya sedang melakukan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket yang berada di tepi Danau Tes, tiba-tiba keduanya menghilang dan tidak seorang pun yang tahu ke mana hilangnya pasangan itu.
Di istana, Raja Bikau Bermano dan permaisurinya mulai cemas, karena Gajah Meram dan calon istrinya belum juga kembali ke istana. Oleh karena khawatir terjadi sesuatu terhadap putra dan calon menantunya, sang Raja segera mengutus beberapa orang hulubalang untuk menyusul mereka. Para hulubalang terkejut saat tiba di tepi danau, karena mereka tidak menemukan Gajah Meram dan calon istrinya. Setelah mencari di sekitar danau dan tidak juga menemukan mereka berdua, para hulubalang pun kembali ke istana.
Para hulubalang kemudian melapor pada Raja Bikau Bermano, bahwa Gajah Meram dan calon istrinya hilang. Walau sudah dicari, mereka tetap tidak dappat menemukannya. Mendengar itu, Raja Bikau Bermano terdiam. Ia gelisah dan cemas terhadap keadaan putra dan calon menantunya. Ia kemudian berdiri, dan meminta bendahara untuk mengumpulkan para hulubalang dan keluarga kerajaan.
Beberapa saat kemudian, seluruh hulubalang dan keluarga istana berkumpul di ruang sidang istana. Raja kemudian menanyakan tentang keberadaan putra dan calon menantunya kepada orang yang berkumpul, namun tidak seorang pun peserta sidang yang menjawab pertanyaan itu. Suasana sidang menjadi hening. Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang tun tuai (orang tua) kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan Suka Negeri yang juga hadir angkat bicara.
Tun Tuai itu mengatakan, putra mahkota dan Putri Jinggai diculik oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes. Raja Ular itu sangat sakti, tapi licik, kejam dan suka mengganggu manusia yang sedang mandi di Danau Tes. Sang Raja kembali terdiam, ia bingung memikirkan cara untuk membebaskan putra dan calon menantunya yang ditawan oleh Raja Ular di Batu Kuning. Tiba-tiba Gajah Merik si putra bungsu, berkata bahwa dia akan pergi membebaskan Gajah Meram dan calon istrinya.
Semua peserta sidang terkejut, terutama sang Raja. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika putranya yang baru berumur 13 tahun itu memiliki keberanian yang cukup besar. Gajah Merik kemudian bercerita, sebenarnya sejak berumur 10 tahun hampir setiap malam dia bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengajarinya ilmu kesaktian.
Mendengar cerita Gajah Merik, sang Raja tersenyum. Ia kagum terhadap putra bungsunya yang sungguh rendah hati itu. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah memamerkannya kepada orang lain, termasuk kepada keluarganya. Raja pun mengijinkan Gajah Merik pergi, namun dengan syarat dia harus pergi bertapa di Bandar Agung untuk memperoleh senjata pusaka.
Keesokan harinya, berangkatlah Gajah Merik ke Bandar Agung yang terletak di antara Desa Merambung dan Batu Kuning untuk bertapa. Selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik bertapa dengan penuh konsentrasi tanpa makan dan minum. Setelah melaksanakan tapanya, Gajah Merik pun memperoleh pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. Keris pusaka itu mampu membuat jalan di dalam air, sehingga dapat dilewati tanpa harus menyelam. Sedangkan selendang, dapat berubah wujud menjadi pedang.
Setelah itu, Gajah Merik kembali ke istana dengan membawa kedua pusaka itu. Saat sampai di kampung Telang Macang, ia melihat beberapa prajurit istana sedang menjaga perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dan Suka Negeri. Oleh karena tidak mau terlihat oleh prajurit, Gajah Merik langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sambil memegang keris pusakanya. Ia merasa heran, karena seakan-seakan berjalan di daratan dan sedikit pun tidak tersentuh air.
Semula Gajah Merik berniat kembali ke istana, namun saat tiba di Danau Tes ia berubah pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik pun menyelam hingga ke dasar danau, dan tidak berapa lama ia menemukan tempat persembunyian Raja Ular itu. Ia melihat sebuah gapura di depan mulut gua yang paling besar, dan tanpa berpikir panjang ia menuju ke mulut gua itu. Namun saat akan memasuki mulut gua, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar.
Karena Gajah Merik tidak mau kalah, maka terjadilah perdebatan sengit dan perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada awalnya, kedua ular itu mampu melakukan perlawanan, namun beberapa saat kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik.
Setelah itu, Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Setiap melewati pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular besar. Namun, Gajah Merik selalu menang dalam perkelahian.
Saat akan melewati pintu ketujuh, tiba-tiba Gajah Merik mendengar suara tawa terbahak-bahak. Gajah Merik pun menantang raja ular yang yang bersembunyi. Merasa ditantang, sang Raja Ular pun mendesis dan desisannya mengeluarkan kepulan asap. Beberapa saat kemudian, kepulan asap itu menjelma menjadi seekor ular raksasa.
Gajah Merik kemudian berkata, bahwa dia datang untuk membebaskan kakaknya dan calon istrinya itu. Raja Ular itu akan membebaskan mereka, namun dengan dua syarat yang harus dipenuhi. Yang pertama dia harus menghidupkan kembali para pengawal yang telah dibunuh, dan yang kedua dia harus mengalahkan Raja Ular.
Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di dalam mimpinya, Gajah Merik segera mengusap satu per satu mata ular-ular yang telah dibunuhnya sambil membaca mantra. Dalam waktu sekejap, ular-ular tersebut hidup kembali. Raja Ular terkejut melihat kesaktian anak kecil itu, namun itu baru syarat pertama. Masih ada syarat kedua, yaitu mengalahkan raja ular.
Tanpa berpikir panjang, Raja Ular itu langsung mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik. Gajah Merik yang sudah siap segera berkelit dengan lincahnya, sehingga terhindar dari kibasan ekor Raja Ular itu. Perkelahian sengit pun terjadi, dan keduanya silih berganti menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus sakti masing-masing. Perkelahian antara manusia dan binatang itu berjalan seimbang.
Sudah lima hari lima malam mereka berkelahi, namun belum ada salah satu yang terkalahkan. Saat memasuki hari keenam, Raja Ular mulai kelelahan dan hampir kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Gajah Merik, dia terus menyerang hingga akhirnya Raja Ular itu terdesak. Pada saat yang tepat, Gajah Merik segera menusukkan selendangnya yang telah menjelma menjadi pedang ke arah perut Raja Ular.
Melihat Raja Ular sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga siapa tahu raja ular itu tiba-tiba kembali menyerangnya. Tenyata, raja ular itu mengaku kalah. Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun segera membebaskan abangnya dan Putri Jinggai yang dikurung dalam sebuah ruangan.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano beserta seluruh keluarga istana dilanda kecemasan. Sudah dua minggu Gajah Merik belum juga kembali dari pertapaannya, oleh karena itu sang Raja memerintahkan beberapa hulubalang untuk menyusul Gajah Merik. Sebelum para hulubalang itu berangkat, tiba-tiba salah seorang hulubalang yang ditugaskan menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes datang dengan tergesa-gesa. Hulubalang itu melaporkan, bahwa Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai.
Tidak berapa lama kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai datang dengan dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas menjaga tempat pemandian itu. Kedatangan mereka disambut gembira oleh sang Raja beserta seluruh keluarga istana.
Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah Merik menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan cepat. Untuk menyambut keberhasilan itu, sang Raja mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu, sang Raja menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Meram.
Namun, Gajah Meram menolak penyerahan kekuasaan itu. Gajah Meram merasa, yang paling berhak atas tahta kerajaan ini adalah Gajah Merik. Dialah yang paling berjasa atas negeri ini, dan dia juga yang telah menyelamatkan dirinya dan Putri Jinggai.
Raja pun kemudian menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Merik, namun Gajah Merik memiliki satu permintaan. Dia ingin mengangkat Raja Ular dan pengikutnya menjadi hulubalang kerajaan. Permintaan Gajah Merik pun dikabulkan oleh sang Raja, dan akhirnya Raja Ular yang telah ditaklukkannya diangkat menjadi hulubalang Kerajaan Kutei Rukam.
Kisah petualangan Gajah Merik ini kemudian melahirkan cerita tentang Ular Kepala Tujuh. Ular tersebut dipercayai oleh masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. Sarangnya berada di Teluk Lem sampai di bawah Pondok Lucuk. Oleh karena itu, jika melintas di atas danau itu dengan menggunakan perahu, rakyat Lebong tidak berani berkata sembarangan.