
Di zaman dulu ada tiga bersaudara yang bernama Saku, Abatan, dan Seko dan tinggal di pedalaman Pulau Timor. Mereka hidup dan tinggal dengan saudara ibunya setelah Ayah dan ibu mereka meninggal. Ayah mereka meninggal dunia karena jatuh ke jurang saat sedang berburu babi hutan. Tujuh bulan kemudian Sang Ibu juga meninggal dunia karena pendarahan saat melahirkan Seko. Saat Seko berusia dua tahun, nenek mereka pun meninggal karena usianya yang sudah tua.
Waktu terus berlalu, dan mereka pun telah tumbuh menjadi besar. Walau hidupnya serba kekurangan, mereka selalu rukun dan bahagia. Abatan tumbuh menjadi seorang remaja yang rajin dan cerdas. Ia sering menanam jagung dan ketela di ladang, mencari kayu bakar di hutan, serta sering memasak untuk kakak dan adiknya. Si Bungsu pun kini telah berusia lima tahun dan menjadi anak yang penurut. Ia sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk sehingga kakak-kakaknya semakin bahagia.
Pada satu malam, Seko merasa sangat susah untuk tidur. Tiba-tiba hatinya merasa rindu dengan kedua orang tuanya, karena sejak bayi dia tidak pernah merasakan kasih sayang dari orangtuanya. Seko kemudian menghampiri kakak sulungnya dan bertanya, ke manakah ayah dan ibu pergi dan mengapa mereka tidak pernah datang.
Karena tidak ingin membuat asiknya itu sedih, maka Saku menjawab, bahwa ayah dan ibu sedang pergi jauh. Suatu saat mereka akan pulang membawa makanan yang lezat-lezat untuk mereka.
Jawaban Saku telah membuat hati Seko menjadi tenang kembali, Seko pun akhirnya dapat tertidur pulas di samping kakaknya. Tetapi kini giliran Si Saku yang tidak dapat tertidur, karena sedih melihat Seko yang tidak pernah bertemu orang tuanya. Saki kemudian mengambil serulingnya dan berjalan ke arah bukit.
Setibanya di atas bukit, Saku pun menangis sambil memandang langit. Kemudian, ia mulai meniup seluring dan menyanyikan lagu kesukaannya.
Ama ma aim honi (Ayah dan Ibu)
Kios man ho an honi (Lihatlah anakmu yang datang)
Nem nek han a amnaut (Membawa setumpuk kerinduan)
Masi ho mu lo’o (Walau kamu jauh)
Au fe toit nek amanekat (Aku butuh sentuhan kasihmu)
Masi hom naoben me au toit (Walau kalian teah tiada, aku minta)
Ha ho mumaof kau ma hanik kau (Supaya Ayah dan Ibu melindungi dan memberi rezeki)
Saat sedang menyanyikan lagu tersebut, tanpa disadari kedua roh orang tuanya turun dari langit. Melalui angin malam, roh Sang Ayah berbicara, “Anakku, aku dan ibumu mendengarmu. Meskipun kta berada di dunia yang berbeda, kami akan selalu bersama kalian.”
Saku pun terkejut. Ia tidak tahu dari mana asalnya suara itu. Namun, sebelum sempat pulih dari keterkejutannya, suara gaib itu pun terdengar lagi.
“Anakku, esok hari sebelum ayam berkokok ajaklah adik-adikmu menemui kami di tempat ini. Selain itu, engkau juga harus membawa seekor ayam jantan merah untuk dijadikan kurban!”
Keesokan harinya, Saku menceritakan kejadian yang dialaminya kepada adik-adiknya. Betapa gembiranya hati Si Bungsu mendengar cerita Si Saku, dia pun sudah tidak sabar ingin bertemu dengan kedua orangtuanya yang dirindukannya selama ini.
Saat tengah malam Saku bersama kedua adiknya berjalan menuju ke puncak bukit sambil membawa seekor ayam jantan merah pesanan kedua orang tua mereka. Setelah mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba angin bertiup kencang hingga pepohonan di sekitarnya meliuk-liuk seperti sedang menari.
Setelah tiupan angin berhenti, terlihat dua sosok bayangan berjalan menghampiri mereka. Mengetahui bahwa kedua sosok itu adalah orangtuanya, Si Bungsu segera berlari ke salah satu sosok dan memeluknya erat-erat.
Kemudian Sang Ayah membawa isteri dan ketiga anaknya menuju ke dasar jurang. Setibanya di dasar jurang, ia lalu menyuruh Si Seko untuk menyembelih ayam jantan merah yang sudah dibawanya. Saat darah ayam itu menetes dan jatuh ke tanah, tiba-tiba ada dua ekor babi gemuk muncul di tengah-tengah mereka. Mereka mendekati kedua babi tersebut dan mengelus-elusnya.
Tidak lama kemudian, ayam mulai berkokok yang menandakan hari sudah pagi. Pada saat yang bersamaan, bayangan kedua orang tua mereka mulai memudar dan akhirnya lenyap. Menyadari bahwa hari telah pagi, ketiga bersaudara tersebut menggiring babi pemberian orang tua mereka menuruni bukit pulang ke rumah. Sejak saat itu, mereka mulai beternak babi. Untuk mengenang peristiwa pertemuan tersebut, mereka kemudan menamai bukit itu Bukit Fafinesu, yang artinya Bukit Babi Gemuk.