Asal Usul Gunung Mauraja

Pada zaman dahulu, di sebuah kampung di Nusa Tenggara Timur ada seorang bocah laki-laki yang tampan bernama Raja. Namun, ia memiliki sifat yang amat keras kepala, semua keinginannya harus dipenuhi. Sifat Raja itu terkadang membuat kedua orang tuanya pusing. Suatu ketika, ibunya sedang memintal benang. Karena penasaran terhadap apa yang dikerjakan ibunya, Raja pun bertanya.

Ibunya ternyata sedang membuatkan sarung untuk Raja, hati Raja pun merasa senang. Dikiranya sarung itu akan selesai dibuat dalam waktu sehari. Maka, ia pun selalu bertanya kepada ibunya.

Setiap hari Raja tidak bosan-bosannya bertanya dan menagih janji ibunya, sang Ibu pun bingung karena ia tidak mau berbohong. Padahal, ia sering menasihati anaknya agar selalu menepati janji dan tidak boleh berbohong. Saat Raja kembali bertanya, sang Ibu diam saja.

Merasa malu dituduh oleh anaknya, sang Ibu pun menjelaskan bahwa membuat sehelai sarung membutuhkan waktu yang cukup lama. Mendengar penjelasan itu, Raja pun merasa menyesal karena telah menuduh ibunya yang bukan-bukan.

Sejak itulah, ia mulai sadar terhadap sikapnya yang suka kasar kepada ibunya. Pikiran itu pun terbawa ke dalam mimpinya. Malam itu, ia bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengenakan pakaian putih-putih. Raja pun menceritakan apa yang terjadi antara dia dengan ibunya.

Kakek itu lalu berkata kepada Raja, jika ia memang benar-benar merasa menyesal maka Raja harus menebus kesalahan itu. Besok, bangunlah sebelum ayam jantan berkokok yang ketiga kalinya. Pergilah ke arah matahari terbit dan berjalanlah sampai menemukan sebuah gua.
Kakek misterius itu kemudian lenyap. Saat itu pula, Raja terbangun. Ketika ayam jantan berkokok yang kedua kalinya, ia segera melaksanakan nasehat kakek dalam mimpinya itu.

Dalam suasana yang agak gelap, Raja berjalan ke arah timur dengan menyusuri hutan belantara hingga akhirnya menemukan sebuah gua.
Raja dengan melangkah perlahan-lahan mendekati gua itu. Ketika ia berada di depan mulut gua, tiba-tiba ia mendengar suara menyapanya.

Suara itu tidak asing lagi di telinga Raja, seperti suara Kakek yang ada di mimpinya semalam. Tanpa ragu-ragu, ia pun segera masuk ke dalam gua. Ternyata dugaannya benar. Terlihat seorang Kakek yang pernah ia temui di dalam mimpi sedang duduk di atas lempengan batu besar. Raja pun kemudian duduk di samping kakek itu.

Kakek itu memberi Raja biji kapas, dan Raja diperintahkan untuk menanam biji itu di kebun ibunya di belakang rumah. Namun, sebelum ia meninggalkan gua, Kakek itu berpesan kepadanya agar meminta maaf kepada ibunya setelah sampai rumah.

Begitu selesai berpesan, Kakek itu tiba-tiba menghilang. Bersamaan dengan kejadian itu, tiba-tiba muncul seekor ular raksasa di hadapan Raja. Karena ketakutan, maka cepat-cepatlah Raja meninggalkan gua itu.

Setiba di rumahnya, Raja langsung menanam biji kapas pemberian sang Kakek. Sungguh ajaib, biji kapas itu tumbuh dengan cepat. Hanya dalam waktu seminggu, tanaman kapasnya sudah berbuah. Buahnya pun unik karena berbentuk gulungan kain seperti yang biasa dipakai ibu Raja. Dengan kejadian itu, sikap Raja mulai berubah. Kini, ia menjadi anak yang halus dan lemah lembut tutur sapanya, penurut, dan rajin membantu kedua orangnya.

Suatu hari, kambing peliharaan orang tua Raja hilang. Raja pun turut membantu mencari kambing tersebut. Ia berjalan menyusuri hutan belantara. Tanpa disadari, langkahnya ternyata sampai di depan gua yang dulu pernah ia masuki. Mulanya, Raja ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara beberapa gadis dari dalam gua.

Raja yang penasaran memberanikan diri masuk ke dalam gua itu, betapa terkejutnya ia saat melihat tujuh gadis cantik sedang mandi di sungai di dalam gua itu. Melihat kecantikan para gadis tersebut, muncullah niatnya ingin memperistri salah satu dari mereka. Maka, ia dengan diam-diam mengambil salah satu pakaian dari gadis itu yang diletakkan di tepi sungai.

Pakaian itu kemudian ia sembunyikan di sebuah lubang pohon. Selang beberapa saat kemudian, para gadis itu telah selesai mandi. Saat hendak mengenakan pakaian masing-masing, salah seorang dari mereka tampak kebingungan.

Ternyata, gadis yang kehilangan pakaiannya adalah si Bungsu. Putri Bungsu itu pun menangis tersedu-sedu karena belum juga menemukan pakaiannya. Melihat keadaan itu, Raja pun keluar dari persembunyiannya lalu menghampiri gadis-gadis tersebut.

Raja pun berpura-pura mencari ke sana kemari hingga ke bagian luar gua. Saat para gadis tersebut tidak melihatnya, cepat-cepatlah ia mengambil pakaian itu dari dalam lubang pohon lalu kembali masuk ke dalam gua.

Putri itu menceritakan, bahwa sebenarnya mereka adalah putri ular. Mendengar cerita itu, Raja langsung teringat pada si Kakek yang waktu itu menghilang dan berubah menjadi seekor ular.

Mendengar cerita itu, Raja pun mulai tersadar bahwa ternyata kakek yang yang pernah menolongnya itu adalah penjelmaan ular. Raja pun kemudian diajak oleh para gadis itu untuk ke rumah mereka dan bertemu dengan sang Kakek.
Sebagai tanda terima kasih, Kakek merestui Raja menikah dengan cucunya itu. Namun dengan satu syarat, sebelum pesta pernikahan Kakek minta agar si Bungsu dibuatkan sebuah rumah peristirahatan.

Raja pun menyetujui persyaratan itu, walau ia tahu bahwa hal itu menyalahi adat di kampungnya. Setelah mereka menikah, Raja dan si Bungsu pun tinggal di rumah baru tersebut. Sementara itu, salah seorang warga yang merasa curiga mengintip ke dalam rumah itu. Alangkah terkejutnya ia saat melihat Raja ditemani oleh seekor ular. Warga itu pun segera melapor kepada seluruh warga kampung. Takut dengan keberadaan ular tersebut, warga pun beramai-ramai membakar rumah itu.

Raja dan Putri Bungsu yang berada di dalamnya tidak dapat berbuat apa-apa, karena peristiwa itu berlangsung sangat cepat. Mereka pun tewas terbakar. Mendengar kabar itu, keluarga Putri Bungsu amat marah dan murka. Dengan dibantu oleh seekor kepiting raksasa, keluarga Putri Bungsu yang telah berubah menjadi sekumpulan ular mendorong perut bumi. Kampung pun bergetar bagaikan terkena gempa bumi dahsyat. Dalam sekejap, perkampungan itu hancur dan porak-poranda.

Selang beberapa saat setelah kejadian itu, tiba-tiba sebuah gundukan tanah muncul dari balik perkampungan. Semakin lama, gundukan tanah itu semakin tinggi hingga menjadi sebuah gunung. Untuk mengenang peristiwa itu, masyarakat setempat menamakan gunung itu Ile Mauraja atau Gunung Mauraja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *