
Pada zaman dahulu kala saat Agama Islam mulai disiarkan oleh para wali songo dan dilanjutkan oleh para santrinya, tersebarlah Islam sampai ke wilayah Utara Pulau Jawa termasuk wilayah Jepara. Sunan Muria punya banyak santri yang mumpuni dan handal, bahkan olah kanuragan dan kekebalan tubuh pun mereka punya. Termasuk Ki Gede Bangsri, Ki Banjar, Ki Jenggot dan juga Ki Sura Gotho yang berasal dari wilayah Jepara sebelah Utara. Mereka hidup rukun saling tolong menolong, dan bekerja sama dalam berdakwah agama. Seperti yang lain, Sura Gotho juga bersilaturrahmi ke rumah saudaranya Ki Gede Bangsri. Namun sial, karena saat itu Ki gedhe Bangsri sedang tidak ada di rumah. Yang ada di rumah hanyalah anak putrinya yang sudah beranjak dewasa dan cantik, bernama Dewi Wiji.
Sebagai anak yang dididik taat beragama, Dewi Wiji menaruh hormat kepada Ki Sura Gotho, sebagai tamu ayahnya. Disuguh minuman makanan seadanya dengan penuh sopan santun, dan muka yang ramah. Namun, perlakuan seperti itu ditanggapi lain oleh Ki Sura Gotho. Dia terkesima melihat kecantikan dan kelembutan tingkah laku Dewi Wiji, mata dan hatinya sudah mulai dirasuki nafsu setan. Dia tidak mengira, bahwa Ki Gede Bangsri punya anak secantik Dewi Wiji. Sifat dan perangai Sura Gotho memang banyak yang berlawanan dengan santri-santri Sunan Muria yang lain, dia sering melanggar aturan aturan yang berlaku di pesantren. Sifat dan kebiasaan itu masih terbawa sampai dia keluar dari pesantren Muria, dan kali ini dia dihadapkan dengan kecantikan Dewi Wiji yang menggoda hati lelakinya. Lalu tanpa basa-basi, dia meminta kesediaan Dewi Wiji untuk dipersunting menjadi isterinya.
Betapa takut dan risau hati Dewi Wiji setelah mendengar permintaan Ki Sura Gotho yang dianggap sebagai pamannya sendiri itu. Walau dia tolak dengan kalimat yang halus, namun Ki Sura Gotho tetap memaksa kesediaan Dewi Wiji untuk mengabulkan permintaan itu. Semakin dia tolak, semakin keras Ki Sura Gotho memaksakan kehendaknya. Bujuk rayu dan iming-iming berupa harta dan perhiasan, tidak dapat meluluhkan hati Dewi Wiji.
Untuk meredakan suasana, Dewi Wiji minta izin pura-pura ke dapur untuk mengambilkan minuman. Namun, sebenarnya dengan sembunyi-sembunyi dia menyelinap kabur dari rumah ke arah Timur. Saat itu memang rumah penduduk masih jarang, sehingga agak jauh ia berlari baru menemukan sebuah rumah. Rumah itu milik tukang celup pakaian, kebanyakan orang menyebut tukang wedel. Karena tidak ada tempat perlindungan lain, maka Dewi Wiji minta izin untuk bersembunyi di situ untuk beberapa saat dari kejaran Ki Sura Gotho.
Dia sudah melihat gelagat dari raut muka Dewi Wiji yang akan melarikan diri, dengan tenang dia amati arah larinya Dewi Wiji. Dia berpikir semakin jauh dari rumahnya, maka kehendaknya semakin mudah terlaksana. Karena dia yakin pasti bisa menangkapnya, seberapa jauh larinya seorang perempuan. Setelah sampai di rumah tukang wedel, Sura Gotho mendobrak pintunya. Sebagai seorang yang dimintai perlindungan, tukang wedel tidak mengaku telah menyembunyikan Dewi Wiji di rumahnya. Perang mulutpun terjadi, dan akhirnya berkelanjutan perang yang sesungguhnya. Perang yang tidak seimbang itu membuat Tukang Wedel gugur membela kebenaran. Sampai sekarang, desa itu disebut Desa Wedelan.
Saat Ki Suro Gotho sedang berselisih dengan Tukang Wedel yang menurut Dewi tidak mampu memberikan perlindungan, maka dia melarikan diri ke arah timur. Kemudian sampailah dia di rumah Ki Banjar, dan Dewi Wiji meminta perlindungan kepada Ki Banjar. Ki Suro Gotho pun sampai ke rumah Ki Banjar. Karena Ki Banjar ingin melindungi anak dari kakak seperguruannya, maka terjadilah perkelahian hebat antara Ki Banjar dan Ki Suro Gotho. Ki Banjar pun mengalami kekalah, sehingga daerah sekitar tinggal Ki Banjar diberinama Desa Banjaran.
Saat perselisihan terjadi,Dewi Wiji sudah tidak ada harapan lagi untuk selamat. Dewi Wiji terus berlari dan terus berlari melalui sawah menyeberang sungai,hutan rimba dan semak yang berduri. Akhirnya bertemu dengan perempuan setengah baya penjual kembang kanthil, dan dia menceritakan pelariannya dari kejaran Ki Sura Gotho. Maka secepatnya Dewi wiji disembunyikan di sebuah tempat yang aman, dan sementara Dewi Wiji merasa tenang. Namun apa dikata, Penjual kembang adalah seorang perempuan biasa. Sekuat dan seteguh apapun kekuatan seorang wanita pasti tidak kuat siksaan dan penganiayaan Ki Sura Gotho. Akhirnya, terpaksa menunjukkan tempat persembunyian Dewi Wiji. Ki Sura Gotho yang sudah mata gelap pun membabi buta, penjual kembang yang sudah mau menunjukkan tempat persembunyian Dewi wiji pun dibunuh dengan sadisnya. Penjual Kembang gugur sebagai pembela kebenaran, dan sampai sekarang desa tempat terjadinya peristiwa itu disebut desa Kembang yang sekarang menjadi sebuah Kecamatan.
Dewi Wiji memang wanita yang gigih memegang pendirian, dia wanita yang tidah mudah putus asa. Saat Ki Sura Gotho mencium jejak persembunyiannya, dia sudah melarikan diri. Setelah melalui beberapa rintangan dan hambatan sampailah dia di rumah seseorang yang dituju, yaitu Ki Ageng Jenggot. Tokoh ini masih kerabat dan juga saudara seperguruan dengan ayahnya, Ki Gede Bangsri yang artinya juga saudara seperguruan dengan Ki Sura Gotho. Kepada orang inilah Dewi Wiji yakin dan percaya pasti bisa mengalahkan dan menyadarkan Ki Sura Gotho dari kemungkarannya. Dewi Wiji bisa bernapas lega, dia dipersilakan istirahat di pesanggrahan belakang dan biar nanti ki Ageng Jnggot yang menghadapi segala permasalahan. Tidak lama dari kedatangan Dewi Wiji, Sura Gotho pun datang. Ki Ageng Jenggot tidak berbasa-basi lagi, dia katakan terus terang bahwa Dewi Wiji keponakannya ada di sini. Dia meminta Ki Sura Gotho untuk mengurungkan niatnya, karena hal itu tabu dan tidak pantas dilakukan. Masih banyak pesan dan nasihat Ki Ageng Jenggot kepada Ki Sura Gotho, seperti seorang kakak menasehati adiknya.
Namun hati dan pikirannya sudah tertutup rapat dengan segala nasihat, tanpa segan dan malu kepada saudara tuanya dia tetap nekad ingin memperisteri Dewi Wiji. Boleh atau tidak Dewi Wiji akan diminta, maka terjadilah perdebatan sengit dan selanjutnya adu kekuatan. Dengan senyum pahit, terpaksa Ki Ageng Jenggot melayani tantangan Sura Gotho. Setelah berlangsung beberapa jurus Sura Gotho terdesak dan dapat dirobohkan oleh Ki Ageng Jenggot. Memang ilmu kanuragan yang dipunyai, setingkat di atas kemampuan Ki Sura Gotho.
Sura Gotho menyerah, namun menyerahnya Sura Gotho ternyata hanya tipu daya seorang pecundang yang penuh dengan kelicikan. Saat dilepas dari cengkeraman tangan Ki Ageng Jenggot, dia mengambil sebuah benda dari balik ikat pinggangnya. Setelah ditunjukkan terkejutlah Ki Ageng Jenggot, itu adalah pusaka andalan kasunanan Muria yang disebut Guling Muria dan ampuhnya luar biasa. Tanpa membuang kesempatan, dipukulkanlah senjata itu tepat di tengah kepala Ki Ageng Jenggot. Seketika itu juga Ki Ageng Jenggot gugur membela kebenaran, dan sampai sekarang desa tempat kejadian tersebut terkenal dengan nama desa Jenggotan.
Dengan gugurnya Ki Ageng Jenggot, maka sudah tidak ada rintangan lagi. Dengan paksa Dewi Wiji digelandang dibawa lari oleh Ki Sura Gotho ke tempat tinggalnya Mandalika. Berita tentang diculiknya Dewi Wiji telah terdengar oleh Ki Gedhe Bangsri, yang ternyata sedang sowan di kasunanan Muria. Kanjeng Sunan Muria yang waktu itu sedang menerima tamu istimewa dari negeri Tiongkok, yaitu Sam Po Kong dan merasa prihatin atas musibah itu. Ternyata, hilangnya Pusaka Kasunanan yang disebut Guling Muria dicuri oleh Ki Sura Gotho.
Sam Po Kong mau berguru tentang Islam kepada Sunan Muria, dan untuk imbalannya Sam Po Kong dapat memberikan jalan keluar untuk mengatasi Sura Gotho. Sura Gotho harus mati, karena sangat membahayakan bagi ketenteraman orang lain dengan pusaka ampuh di tangannya. Kepada Ki Gede Bangsri, diberikanlah sebotol kecil serbuk racun yang sangat mujarab. Entah bagaimana caranya, serbuk racun itu harus terminum oleh Ki Sura Gotho. Tidak menunggu waktu lama, lalu Ki Gede Bangsri secepatnya minta pamit.
Setelah Dewi Wiji ada dibawah cengkeramannya, Sura Gotho tidak segera pulang ke Mandalika. Dia merayakan kemenangannya dengan bersenang-senang bersama kawan-kawanya di pantai Metawar. Karena teriknya panas maka Ki Sura Gotho kehausan, dia membeli dawet yang kebetulan di sekitar pantai ada penjual dawet. Setelah puas meminum dawet terasa panas sekujur tubuhnya, ternyata racun Sam Po Kong telah berhasil diselundupkan melalui telik sandi yang ditugaskan membawanya. Karena tidak tahan menahan panasnya racun yang merasuk ke tubuhnya, Sura Gotho berguling-guling kian kemari lalu menceburkan diri ke dalam laut. Lalu terjadilah keajaiban, tubuh Ki Sura Gotho seketika berubah menjadi Yuyu Gotho yaitu kepiting raksasa yang berbulu lebat. Ia bersumpah, jika Dewi Wiji tidak dikorbankan maka rakyat Bangsri akan dihancurkan.
Ki Ageng Bangsri minta pertimbangan kepada Sunan Muria, setelah itu Sunan Muria menyarankan Dewi Wiji dikorbankan. Mendengar ancaman mengerikan itu, Dewi Wiji yang sudah hancur luluh hatinya merelakan tubuhnya sebagai tumbal keangkaramurkaan Ki Sura Gotho. Dia ikhlas berkorban demi keselamatan rakyat Bangsri yang tidak berdosa, dan tanpa ragu-ragu Dewi Wiji menceburkan diri ke dalam laut. Keajaiban pun terjadi, seketika itu juga tubuh Dewi Wiji berubah menjadi Ula Lempe. Sampai sekarang, terdapat cerita rakyat jika ada orang digigit ula lempe obatnya yuyu gotho ditumbuk lembut dioleskan, sebaliknya jika digigit yuyu gotho maka obatnya darah ula lempe.