Dikisahkan, di Tanah Karo, Sumatera Utara, Indonesia, berdiri sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Saat itu, penduduk negeri itu belum mengenal tanaman padi. Makanan pokok mereka adalah buah kayu yang banyak terdapat di sekitar mereka. Walau hanya menggantungkan hidup pada buah kayu tersebut, mereka dapat hidup makmur dan sejahtera.
Suatu ketika, kemarau panjang melanda negeri tersebut sehingga pepohonan yang baru saja mulai berbuah menjadi layu. Malapetaka itu pun menyebabkan seluruh penduduk menderita kelaparan. Tubuh mereka terlihat lemah dan kurus, karena kekurangan makanan. Di antara penduduk tersebut tampak seorang anak laki-laki yang sudah yatim bernama si Beru Dayang sedang menangis di pangkuan ibunya. Tubuh bocah itu kurus kering dan wajahnya sangat pucat. Bocah itu kemudian merengek-rengek minta makan kepada ibunya.
Tangisan si Beru Dayang benar-benar menyayat hati ibunya, namun sang ibu tidak dapat menolongnya. Ia hanya dapat meneteskan air mata sambil merangkul anak semata wayangnya. Semakin lama tubuh si Beru Dayang semakin lemas, hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di dalam pangkuan sang ibu. Melihat anaknya tidak bernyawa lagi, sang ibu seketika menangis histeris.
Para warga yang mengetahui hal itu segera mengubur si Beru Dayang di makam perkampungan. Sejak kepergian anaknya, kesedihan sang ibu semakin bertambah karena hidupnya semakin sepi. Orang-orang yang ia cintai dan sayangi semuanya telah pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Ibu si Beru Dayang pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dengan tubuh yang lemah, ia berjalan menuju ke sungai yang berada di ujung kampung. Setiba di tepi sungai, ia berdoa kepada Dewata agar segera merenggut nyawanya.
Usai berucap demikian, ibu si Beru Dayang langsung terjun ke dalam sungai yang dalam. Sungguh ajaib, begitu tubuhnya menyentuh air, tiba-tiba ia menjelma menjadi seekor ikan. Tidak ada seorang pun warga yang menyaksikan peristiwa ajaib itu, karena mereka semua hanya memedulikan diri sendiri yang bergelut melawan rasa lapar.
Sudah beberapa bulan telah berlalu, namun musim kemarau belum juga berakhir. Semua tumbuh-tumbuhan telah mengering bagaikan habis terbakar. Korban pun semakin banyak yang berjatuhan, hampir setiap hari terdengar isak tangis kematian yang memilukan di negeri itu.
Sementara itu, warga yang masih kuat bertahan berupaya mencari makanan untuk sekadar pengganjal perut. Di tengah padang yang kering kerontang, terlihat dua orang anak kecil sedang mengais-ngais tanah untuk mencari umbi-umbian. Setelah beberapa saat mengais tanah, salah seorang dari mereka menemukan buah berbentuk bulat sebesar buah labu.
Anak yang satunya segera mendekati temannya, ia hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala setelah mengamati buat itu pertanda tidak tahu karena ia sendiri belum pernah melihat buah seperti itu.
Akhirnya, kedua anak tersebut membawa pulang buah itu untuk ditunjukkan kepada orang tua mereka. Ternyata orang tua mereka juga tidak tahu mengenai buah itu, karena baru kali itu melihatnya. Penemuan buah yang asing oleh kedua anak tersebut membuat gempar seluruh penduduk negeri. Sang Raja yang mendapat laporan dari salah seorang warga pun berkenan datang untuk melihatnya. Saat raja dan para penduduk berkumpul melihat buah itu, tiba-tiba terdengar suara dari angkasa.
Buah yang ada di hadapan kalian adalah penjelmaan seorang anak laki-laki kecil yang bernama Si Beru Dayang. Potong-potonglah buah itu hingga halus dan kemudian tanamlah hingga tumbuh menjadi subur. Jika buah penjelmaan Si Beru Dayang itu kalian pelihara dengan baik, kelak akan berbuah dan menjadi makanan kalian. Anak itu sangat merindukan ibunya. Pertemukanlah ia dengan ibunya yang telah menjelma menjadi ikan di sungai! Niscaya kalian tidak akan kelaparan lagi.
Tanpa berpikir panjang, sang raja segera memerintahkan rakyatnya untuk melaksanakan semua pesan yang disampaikan oleh suara itu. Para warga pun segera memotong-motong buah itu hingga halus, kemudian mereka tanam dan rawat dengan baik. Bersamaan dengan itu, kemarau pun berakhir. Hujan deras pun mulai turun sehingga potongan-potongan buah itu tumbuh dengan subur menjadi tanaman yang menyerupai rumput.
Dua bulan kemudian, tanaman itu berbunga dan berbuah. Buahnya berbulir atau bergerombol dalam setiap tangkai. Setelah genap tiga bulan, buah tanaman itu pun menguning dan siap untuk dipanen. Sang raja bersama seluruh rakyatnya pun segera memanen buah itu dengan suka ria. Setelah dipanen, buah itu kemudian mereka jemur dan tumbuk untuk memisahkan kulit dengan isinya. Isinya itulah kemudian mereka masak dan cicipi bersama-sama.
Sejak itulah, penduduk Tanah Karo membibit dan memelihara tanaman yang kemudian mereka sebut Beru Dayang. Makanan pokok mereka yang semula dari buah kayu pun beralih ke Beru Dayang. Untuk mempertemukan Si Beru Dayang dengan ibunya, masyarakat Tanah Karo menyantap makanan itu bersama dengan ikan yang dipercaya sebagai penjelmaan dari ibu Beru Dayang.
Ternyata, buah tanaman yang sering mereka sebut Beru Dayang itu adalah padi. Meski demikian, masyarakat Tanah Karo tetap menyebut buah padi itu dengan istilah Beru Dayang.