
Dikisahkan, jaman dahulu di Riau ada seorang anak bernama Dang Gedunai. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kecil dekat hutan. Kehidupan mereka sederhana, namun hari-hari sang ibu sering diwarnai dengan kecemasan. Dang Gedunai, anak semata wayangnya, dikenal di seluruh desa karena keras kepala dan sikapnya yang suka membangkang. Walau ia sangat mencintainya, sikap Dang Gedunai yang sering mengabaikan nasihatnya membuat hati sang ibu berat dengan kesedihan.
Sang ibu menoleh dari anyamannya. Ia melihat awan gelap bergulung-gulung di langit, pepohonan bergoyang diterpa angin yang kian kencang. Ibunya pun meminya Dang Gedunai untuk tetap tinggal di rumah dan membantunya menyiapkan makan malam, namun seperti biasa Dang Gedunai mengabaikan kata-kata ibunya. Kemudian ia mengambil alat pancing dan bergegas keluar sebelum sang ibu sempat memprotes lebih lanjut.
Di tepi sungai, dunia tampak tenang meski badai sedang bersiap. Dang Gedunai melemparkan kailnya ke air, pikirannya tertuju pada harapan untuk menangkap sesuatu yang besar. Ketika tetesan hujan pertama mulai jatuh, ia tetap tidak bergeming. Gerimis berubah menjadi hujan deras, membuatnya basah kuyup, namun Dang Gedunai tetap bertahan. Tepat saat ia hendak menyerah, sesuatu yang tidak biasa menarik perhatiannya. Ada cahaya keemasan samar yang muncul dari bawah permukaan sungai.
Rasa penasaran menguasai dirinya. Dengan hati-hati ia masuk ke dalam air, mengulurkan tangan, dan menarik keluar sebuah telur besar yang berkilauan. Telur itu tidak seperti apa pun yang pernah ia lihat sebelumnya, kulitnya berkilau seolah-olah menyimpan cahaya bintang.
Dengan penuh semangat, Dang Gedunai berlari pulang untuk menunjukkan temuannya kepada ibunya. Sang ibu terkejut melihatnya dan terengah meminta Dang Gedunai untuk segera mengembalikan telur itu ke Sungai, karena itu bukan telur biasa dan milik makhluk besar.
Namun Dang Gedunai hanya tertawa dan yakin tidak ada masalah jika dia menyimpannya. Ibunya pun menegurnya dan mengatakan, bahwa telur itu dapat membawa bencana besar jika tidak segera dikembalikan.
Namun, keputusan Dang Gedunai sudah bulat. Ia dengan hati-hati meletakkan telur itu ke dalam keranjang, pura-pura mendengarkan nasehat ibunya. Keesokan paginya, saat ibunya pergi ke sawah, Dang Gedunai menunjukkan niat sebenarnya. Ia merebus telur itu hingga cangkang emasnya berubah putih, memenuhi rumah dengan aroma yang menggoda. Tanpa ragu, ia segera memakannya.
Awalnya, semuanya tampak baik-baik saja. Telur itu terasa lebih lezat dan memuaskan daripada apa pun yang pernah ia makan. Namun tidak lama kemudian, ia merasakan panas luar biasa di tenggorokannya. Tubuhnya terasa sakit, dan rasa haus yang tidak terpuaskan melanda dirinya. Saat ibunya kembali, ia menemukan Dang Gedunai dalam keadaan tersiksa
Sang ibu memberinya segelas air, lalu segelas lagi, namun tetap tidak dapat meredakan rasa hausnya. Dalam keputusasaan, Dang Gedunai berlari ke kolam dan meminum airnya hingga kering. Namun, rasa hausnya justru semakin menjadi. Akhirnya, mereka berdua bergegas ke sungai. Dang Gedunai berlutut di tepi sungai, menenggak air sungai itu, namun sungai besar itu pun tidak dapat menghilangkan rasa hausnya.
Saat itulah ia teringat mimpi yang dialaminya sebelumnya. Seekor naga besar muncul dalam tidurnya, dengan mata yang menyala seperti api. Naga itu marah karena Dang Gedunai telah mencuri telurnya, dan Dang Gedunai akan membayar dengan cara menjadi seekor naga.
Menyadari takdirnya, Dang Gedunai berbalik menghadap ibunya sambil menangis. Dang Gedunai meminta maaf pada ibunya dan menyesal, karena seharusnya dia mendengarkan nasehat ibunya. Telur yang di makan bukanlah adalah telur naga, dan kini dia harus meninggalkan ibunya. Hukuman Dang Gedunai adalah hidup sebagai naga di laut.
Tangisan sang ibu menggema di seluruh hutan saat ia menyaksikan satu-satunya anaknya berubah. Sisik menggantikan kulitnya, dan anggota tubuhnya berubah menjadi sirip yang kuat dan lentur. Di hadapannya berdiri seekor naga yang megah, menakutkan sekaligus mempesona.
Dang Gedunai sejak saat itu akan tinggal di lautan. Saat ombak besar datang, itu berarti Dang Gedunai sedang makan. Saat laut tenang, berarti Dang Gedunai sedang tidur. Dang Gedunai pun meminta tolong pada ibunya untuk memberi tahu penduduk desa, agar tidak pergi ke laut saat ombak sedang ganas.
Setelah itu, Dang Gedunai menyelam ke lautan, menghilang di bawah ombak. Ibunya kembali ke desa, membawa pesan peringatan itu. Sejak hari itu, para penduduk desa belajar menghormati ritme laut. Ombak besar menjadi tanda bahwa sang naga sedang makan, dan mereka tidak berani mendekati laut hingga perairan kembali tenang.
Hingga hari ini, para nelayan di Riau masih menceritakan kisah Dang Gedunai. Mereka berkata bahwa ketika ombak menghantam pantai dengan ganas, itu adalah pengingat tentang anak yang keras kepala yang kini menjadi naga penjaga laut.