
Dikisahkan, ada seorang wanita di Jambi bernama Nyimas Rahima. Nyimas Rahima lahir dalam keluarga Kemas Mahmud, seorang pria terhormat di Jambi yang sangat dihormati di kerajaan. Dia dikenal akan kecantikannya, namun kebaikan hati dan kesalehannya lah yang membuatnya benar-benar dicintai. Sifat lembutnya, sikap yang suka menolong, dan hati yang tulus memikat semua orang yang ditemuinya.
Pada masa itu, Jambi sedang terlibat dalam pertempuran sengit melawan Belanda. Di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad yang masih muda namun bijaksana, rakyatnya bertempur dengan gagah berani untuk melindungi tanah mereka. Walau pikirannya penuh dengan peperangan, kisah tentang kecantikan dan kelembutan Nyimas Rahima sering sampai ke telinganya hingga menimbulkan rasa penasaran di hatinya.
Pada suatu malam berbintang, saat suara dari medan perang sedikit mereda, sang sultan tidak bisa lagi menahan dirinya. Dengan rencana yang matang, ia meninggalkan perkemahan dan menyusuri bayang-bayang menuju rumah Kemas Mahmud, berharap dapat melihat wanita yang telah memenuhi angannya.
Sesampainya di rumah itu, Kemas Mahmud menyambutnya dengan ekspresi terkejut, tetapi segera berlutut memberi hormat kepada tamu tidak terduga itu. Saat Nyimas Rahima memasuki ruangan, pesona dan kelembutannya langsung memikat hati sultan muda. Keduanya saling bertukar pandang, berbicara dalam bahasa diam yang hanya bisa dipahami oleh hati. Nyimas Rahima, yang juga telah lama mengagumi keberanian dan kebijaksanaan sang sultan, merasakan hatinya berdebar bahagia atas kehadirannya.
Tidak mampu menahan perasaannya lagi, sang raja pun melamar Nyimas Rahima untuk menjadi istrinya. Nyimas Rahima menundukkan wajahnya dan menerima lamaran dari sang raja. Pernikahan mereka diadakan dengan sederhana, tanpa kemewahan atau perayaan besar, karena perang masih mengancam mereka. Namun bagi dua hati yang bersatu malam itu, momen tersebut adalah kebahagiaan yang luar biasa.
Dengan perasaan penuh sukacita dan rasa hormat kepada istrinya yang baru, sang raja membawa Nyimas Rahima ke istananya. Di sana, ia diberi gelar terhormat, Putri Ayu, sebuah nama yang mencerminkan keanggunan, kecantikan, dan peran istimewanya sebagai ratu Jambi.
Putri Ayu dengan cepat menyesuaikan diri dengan tugas-tugasnya, mencurahkan dirinya untuk rakyat dengan kehangatan dan kebijaksanaan. Kelembutannya memenangkan hati setiap orang di istana, mulai dari para penasihat bangsawan hingga pelayan istana yang paling sederhana.
Putri Ayu yang baru dinobatkan menjalani kehidupan istana dengan kerendahan hati dan dedikasi, ia sepenuh hati mendukung perjuangan suaminya dan memikul tanggung jawab untuk mengurus rakyat. Setiap hari, ia berdoa dengan khusyuk untuk keselamatan sang raja dan perlindungan kerajaan.
Bulan demi bulan berlalu, dan kebahagiaan mereka semakin lengkap dengan kelahiran seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Adipati. Seiring berjalannya waktu, Putri Ayu mengajarkan Adipati kecil tentang nilai kesetiaan dan keberanian.
Waktu terus berlalu, dan keluarga mereka bersiap menyambut anak kedua. Namun, seiring semakin hebatnya peperangan, kepergian sultan semakin lama, dan kesehatan Putri Ayu perlahan mulai menurun.
Pada pagi yang gelap dan sunyi, Putri Ayu menghembuskan napas terakhirnya. Ia pergi dengan doa di bibirnya, meninggalkan warisan kebaikan dan keteguhan yang terus mengalun di seluruh istana.
Putri Ayu dimakamkan di taman istana, makamnya dihiasi indah dengan bunga-bunga dan doa untuk kedamaian. Adipati, yang masih anak-anak, berduka mendalam, tak tahu di mana ayahnya berada, namun yakin bahwa pesan ibunya akan menjadi penuntunnya selamanya.
Sayangnya, tentara Belanda telah mendekati istana, dan para penasihat kerajaan, melihat bahaya yang mengancam, mendesak Pangeran Adipati yang masih muda untuk melarikan diri demi keselamatannya. Walau masih kanak-kanak, Adipati memahami beratnya keputusan itu. Dengan pandangan yang terakhir ke istana yang telah menjadi rumahnya, ia mengumpulkan beberapa barang kesayangan dan, dengan hati yang berat, mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan yang selama ini dikenalnya.
Saat ia pergi, ditemani beberapa pengikut setia, Adipati menoleh sekali lagi, tatapannya terhenti di makam ibunya. Kenangan tentang sang ibu menjadi sumber kekuatannya, dan ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti ia akan kembali untuk menghormati warisan ibunya.
Tidak lama setelah kepergian pangeran, tentara Belanda menyerbu halaman istana, hanya untuk menemukan suasana yang hening dan kosong. Saat menjelajahi koridor-koridor istana, mereka akhirnya tiba di sebuah makam yang indah dan terawat dengan baik di taman istana. Para tentara, yang tertarik oleh keindahan makam tersebut, kemudian mengetahui bahwa itu adalah tempat peristirahatan Putri Ayu. Terkesan oleh cerita tentang kesetiaan dan keanggunannya, tentara Belanda meninggalkan makam itu tidak terganggu, melihatnya sebagai simbol cinta dan ketahanan.
Hingga kini, makam Putri Ayu Nyimas Rahima tetap tidak tersentuh, menjadi tempat suci untuk mengenang dan menghormati. Generasi demi generasi terus menghormati warisan ratu yang berdoa untuk kedamaian dan raja yang membela rakyatnya.