Kisah Samba Paria

Di zaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Bumi Mandar, yang memiliki sawah yang luas dengan padi yang menguning, hutan yang lebat, gunung-gunung dan bukit-bukit yang indah, serta laut yang kaya akan ikan.

Kerajaan ini juga terkenal kaya akan cengkeh, sehingga menarik banyak pedagang dari luar negeri untuk datang dan membelinya. Mereka kemudian menjualnya kembali di negara asal mereka. Kedatangan para pedagang pembeli cengkeh ini membuat Pelabuhan Bumi Mandar menjadi ramai. Kapal-kapal dari berbagai negeri asing, seperti Inggris, Belanda, Portugal, Spanyol, India, dan Cina, hilir mudik di pelabuhan ini.

Kerajaan Bumi Mandar saat itu dipimpin oleh seorang raja yang kejam, pelit, dan serakah. Keberadaan cengkeh yang banyak diminati pedagang asing dan sangat menguntungkan rakyat, membuat Raja Bumi Mandar justru melarang rakyatnya untuk berdagang cengkeh. Hanya raja dan kerabat-kerabatnya saja yang boleh berdagang cengkeh dan menentukan harganya di pasaran.

Rakyat hanya diizinkan untuk menanam cengkeh, namun tidak boleh menentukan harga jualnya. Keuntungan raja dan para kerabatnya dalam perdagangan cengkeh pun makin meningkat pesat. Tentu saja, hal ini terjadi lantaran raja dan kerabatnya membeli cengkeh dari rakyat dengan harga yang sangat rendah, lalu menjualnya dengan harga yang tinggi kepada para pedagang asing.

Di tengah kekayaan alam yang melimpah di daerahnya, rakyat mulai murka atas perbuatan dan sikap jahat sang raja. Ketidakadilan raja memicu perlawanan dari rakyat, namun perlawanan tersebut sia-sia dan justru membuat raja semakin kejam serta bertindak sewenang-wenang.

Raja kemudian memerintahkan para pengawal untuk menghukum rakyat yang melawannya dengan hukuman mati. Akibatnya, rakyat hidup dalam ketakutan pada masa itu. Tidak sedikit dari mereka yang melarikan diri menggunakan perahu ke negeri asing yang lebih tenteram.

Namun, usaha mereka tidak selalu berhasil. Banyak perahu yang digunakan rakyat untuk meninggalkan Bumi Mandar justru tenggelam di Laut Bumi Manda, rakyat pun hanya pasrah walau hidup dalam ketakutan dan kehilangan semangat.

Selain bengis, Raja Bumi Mandar juga terkenal memiliki banyak permaisuri. Setiap kali melihat gadis yang disukainya, ia langsung menjadikannya permaisuri di istana. Walaupun telah memiliki tiga belas permaisuri, ia masih belum puas. Sang raja bahkan pernah sesumbar, bahwa ingin memiliki empat puluh permaisuri sebagai bukti kesaktiannya. Oleh karena itu, banyak gadis yang mengurung diri di rumah karena takut diculik oleh raja.

Sementara itu, di suatu kampung di lereng gunung ada seorang nenek. Usianya yang sudah tua membuat banyak warga di sekitarnya sering meminta nasihatnya, tidak sedikit orang yang penasaran dengan masa depan mereka dan datang kepada nenek itu untuk dibacakan.

Banyak rakyat yang bertanya-tanya, kapankah kehidupan yang menakutkan di bawah perintah sang raja keji ini akan berakhir. Saat itu, sang nenek meramalkan bahwa suatu hari nanti akan ada seorang gadis belia dari kalangan rakyat biasa yang akan menaklukkan dan akan mengakhiri kekuasaan raja.

Pada suatu malam di istana, Raja Bumi Mandar bermimpi menemukan bunga yang harum semerbak di tengah hutan belantara tempat ia biasa berburu. Namun, setelah terbangun dari mimpinya, sang raja tidak dapat mengingat kembali lokasi bunga yang harum semerbak itu. Penasaran dengan makna mimpinya, keesokan harinya, sang raja memanggil seorang ahli nujum istana. Kepadanya, raja bertanya tentang arti mimpinya itu.

Menurut sang ahli nujum, raja akan mendapatkan permaisuri baru di rimba belantara. Calon permaisuri ini masih muda belia dan secantik bunga. Namun, raja harus berhati-hati saat hendak menyuntingnya. Karena selain harum semerbak, gadis ini memiliki senjata yang selalu melindunginya.

Mendengar perkataan sang ahli nujum, raja semakin sering berburu ke hutan. Hampir setiap hari ia memerintahkan pasukan kerajaan untuk mengawalnya berburu di hutan, ditemani beberapa anjing pemburu. Tentu saja tidak ada rakyat yang berani memasuki wilayah hutan, karena, raja telah menetapkannya sebagai wilayah kekuasaan istana.

Di sebuah pelosok hutan rimba belantara yang jauh dari pemukiman penduduk, tinggalah dua orang kakak-adik yang hidup rukun dan saling menyayangi. Mereka berdua menempati rumah panggung yang tersembunyi di antara pepohonan lebat. Lebih unik lagi, terdapat tanaman peria yang menjalar hingga ke tiang, tangga, dan atap rumah panggung, sehingga rumah tersebut tertutup oleh dedaunan hijau yang lebat.

Dua orang bersaudara itu adalah yatim piatu, sang kakak yang berusia 16 tahun bernama Samba. Karena rumah mereka tertutup oleh tanaman peria, orang-orang kerap memanggilnya Samba Paria. Sementara itu, adik Samba adalah seorang anak laki-laki yang berusia 10 tahun.

Di suatu siang, Samba Paria dan adiknya sedang asyik menyantap talas di rumah panggung mereka. Saat adik Samba hendak memasukkan talas yang masih panas ke dalam mulutnya, tiba-tiba talas itu terlepas dan terjatuh ke tanah. Mereka berdua membiarkan talas itu tetap di tanah dan tidak memungutnya lagi, karena talas itu telah kotor sehingga tidak layak untuk dimakan.

Pada saat yang hampir bersamaan, rombongan raja dari pesisir Mandar juga sedang berburu binatang di hutan yang sama. Mereka datang dengan menunggang kuda dan membawa serta beberapa ekor anjing pemburu terlatih.

Ketika telah berada di tengah hutan tidak jauh dari rumah Samba Paria, mereka melepaskan tali anjing-anjing pemburu dan membiarkannya pergi mencari mangsa. Saat anjing-anjing itu dilepas, terdengarlah suara gonggongan anjing yang memecah kesenyapan rimba. Tidak lama kemudian, seekor anjing kesayangan raja kembali sambil menggigit sesuatu di mulutnya.

Setelah mengambil benda yang digigit anjing itu, sang pengawal segera menyerahkannya kepada raja. Baik pengawal maupun raja, sama-sama terkejut saat melihat benda itu adalah talas yang masih hangat. Sang raja langsung merasa yakin, bahwa ada orang yang memasak talas itu di dalam hutan.

Karena penasaran, raja pun memberikan isyarat kepada anjingnya untuk mengantarkannya ke tempat ia mendapatkan talas yang masih hangat itu. Raja lalu mengikuti anjing tersebut dari belakang dengan menunggangi kuda putihnya ditemani para pengawal.

Tibalah mereka di depan rumah Samba Paria yang dikelilingi tanaman peria. Karena penasaran, ia ingin mengetahui siapa yang menghuni rumah yang indah tersebut. Tanpa berpikir panjang, ia menaiki tangga rumah itu, mengetuk pintu serta memberi salam. Tidak berapa lama, pintu terbuka perlahan. Saat pintu terbuka, raja terkejut dan tertegun melihat seorang gadis belia yang sangat cantik muncul.

Sang raja bergumam takjub dan langsung jatuh hati pada Samba Paria. Tiba-tiba, ia teringat perkataan ahli nujum istana beberapa waktu lalu tentang gadis yang akan menjadi calon permaisurinya. Sebaliknya, hati Samba Paria bergetar ketakutan. Melihat pakaiannya yang berkilauan dengan perhiasan emas, ia langsung tahu bahwa pria di hadapannya adalah seorang raja.

Samba Paria semakin yakin saat melihat kuda putih yang ditunggangi orang yang berdiri di depannya itu. Di daerah Mandar pada masa itu, kuda berwarna putih adalah kuda yang sangat Istimewa dan hanya ditunggangi oleh raja dan kalangan istana kerajaan.

Samba Paria menundukkan kepala seraya mempersilakan sang raja untuk masuk ke rumah. Sang raja berterima kasih atas kesediaan Samba membukakan pintu baginya. Ia pun meminta Samba untuk memberikan minum kepada para pengawalnya dan dirinya sendiri, karena mereka kehabisan air setelah berburu.

Samba Paria segera menyuruh adiknya ke dapur untuk mengambil air. Namun, persediaan air minum mereka telah habis. Seusai meminta maaf pada sang raja, Samba Paria mengutus adiknya untuk mengambil air di sungai.

Tiba-tiba, muncul niat jahat sang raja untuk menculik Samba Paria dan menjadikannya permaisuri. Sebelum adik Samba Paria berangkat ke sungai, raja berpura-pura meminjam tempat air yang akan dibawa ke sungai. Alih-alih memeriksa wadah air, ia justru melubanginya. Raja sengaja melakukannya agar anak kecil itu berlama-lama di Sungai, karena tidak mampu mengisi penuh wadah air yang telah berlubang.

Setelah kepergian sang adik, raja tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia segera memerintahkan beberapa pengawal yang berjaga di depan rumah untuk membawa gadis cantik itu ke istana. Samba Paria berteriak meminta ampun, memohon agar jangan dibawa ke istana. Ia juga meminta agar adiknya tidak ditinggalkan sendirian di tengah hutan. Namun, raja mengabaikan permintaannya itu.

Samba Paria makin dilanda kebingungan, karena adiknya belum juga kembali dari sungai untuk mengambil air. Ia tidak menyadari bahwa adiknya mengalami kesulitan mengisi air, lantaran wadah yang dibawa adiknya itu ternyata telah dilubangi oleh sang raja. Tapi, Samba Paria yakin bahwa adiknya pasti akan mencarinya jika ia dibawa ke istana oleh para pengawal. Ia pun segera memutar otak untuk mencari cara meninggalkan jejak agar adiknya dapat mengetahui ke mana ia pergi dan dapat menyusulnya.

Oleh karena itu, Samba Paria mengajukan satu permintaan untuk membawa beberapa lembar daun peria. Samba Paria mengaku kepada raja bahwa ia sangat suka memakan daun peria, dan raja mengabulkan permintaannya.

Setelah memetik puluhan lembar daun peria, Samba Paria pun dibawa ke istana dengan menunggang kuda. Dalam perjalanan menuju ke istana raja, Samba Paria merobek-merobek daun peria itu lalu menebarnya di sepanjang jalan yang ia lalui agar adiknya dapat mengetahui jejaknya.

Setelah sekian lama, sang adik akhirnya kembali dari sungai dengan tangan kosong. Setibanya di depan rumah, ia melihat pintu rumah tertutup rapat. Ia tergagap sembari memanggil kakaknya dari luar rumah.

Karena tidak mendengar sahutan dari sang kakak, ia bergegas memeriksa ke dalam rumah. Saat ia membuka pintu, tidak ada satu orang pun yang ada di dalam rumahnya. Dalam keadaan bingung dan panik, adik Samba Paria mencari sang kakak dengan memanggilnya berulang kali di sekeliling rumah. Tetapi, ia tak kunjung menemukan kakaknya.

Tiba-tiba, pandangan mata adik Samba Paria tertuju pada tumpukan daun peria yang berserakan di depan rumahnya. Robekan-robek daun peria itu ternyata juga terhambur di sepanjang jalan di depan rumahnya. Melihat kejanggalan itu, sang adik pun menduga bahwa kakaknya telah dibawa oleh raja dan rombongannya.

Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengikuti jejak sobekan daun peria itu untuk menemukan kakaknya. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, akhirnya sampailah ia di istana kerajaan yang berbentuk sebuah rumah panggung yang sangat megah.

Sang adik berteriak memanggil kakaknya di samping istana raja. Berulang kali ia memanggilnya, namun wajah maupun suara Samba Paria tidak kunjung muncul. Sang adik mulai putus asa, ia pun meminta agar sang kakak menunjukkan wajahnya di jendela jika memang tidak ingin menemuinya. Dari atas istana, sang raja justru menunjukkan wajah kucing kepada adik Samba Paria, sementara Samba Paria sendiri disekap di dalam kamar agar tidak dapat keluar menemuinya.

Ia lalu berteriak, meminta untuk diperlihatkan tangan kakaknya jika memang tidak diperkenankan melihat wajah sang kakak. Perasaan anak itu makin gundah karena sang raja lanjut menunjukkan kaki depan kucing kepadanya. Namun, adik Samba Paria yang tidak menyerah kembali berteriak, meminta ditunjukkan kaki kakaknya. Adik Samba Paria benar-benar dipermainkan oleh sang raja. Kali ini, raja memperlihatkan kaki belakang kucing kepadanya.

Karena mengira kakaknya sudah tidak sudi lagi menemuinya, akhirnya anak kecil itu bersuara kembali. Dia berkata bahwa dia akan pulang ke rumah, namun adik Samba Paria ini juga menanam sebatang pohon kelor di tempatnya berdiri. Untuk terakhir kalinya dia berteriak menjelaskan, jika batang pohon itu layu, tandanya ia sedang sakit keras. Dan apabila batang pohon itu mati, tandanya dia sudah tiada.

Kemudian, anak itu bergegas pergi dengan perasaan sedih dan kecewa yang mendalam. Samba Paria hanya bisa menangis tersedu-sedu saat mendengar suara adiknya, terlebih lagi saat mendengar pesan terakhirnya.

Waktu terus berlalu, Samba Paria selalu dilanda kekhawatiran atas nasib adiknya yang tinggal sendirian di dalam hutan rimba. Setiap hari, Samba Paria mengintip batang pohon kelor yang ditanam adiknya di depan istana untuk mengetahui kabarnya.

Yang dilihatnya, batang pohon kelor itu semakin layu. Samba Paria pun langsung teringat kata-kata adiknya bahwa jika batang pohon itu layu, berarti adiknya sedang sakit. Khawatir akan keadaan adiknya, Samba Paria kemudian mencari cara untuk melarikan diri dan meninggalkan istana untuk menemui adiknya.

Pada suatu hari, tibalah waktu bagi sang raja untuk pergi berburu. Momen ini pun digunakan Samba Paria untuk bersiap pergi dari istana. Ia kemudian memasak nasi dan lauk-pauk sebanyak-banyaknya, agar ketika pulang berburu, sang raja tidak curiga bahwa dirinya tidak ada di istana.

Ditemani para dayang, Samba Paria pergi mandi di sungai yang tidak jauh dari istana. Saat para dayang sedang asyik mandi, Samba Paria membuka cincin pernikahan pemberian sang raja. Ia lalu sengaja menjatuhkannya ke dalam Sungai, dan berpura-pura meminta tolong kepada para dayang untuk mencari cincinnya yang jatuh ke dalam sungai.

Mendengar teriakan Samba Paria, para dayang itu segera melompat ke dalam sungai. Mereka harus segera menemukan cincin itu, karena khawatir akan dihukum oleh raja jika cincin itu tidak ditemukan. Saat para dayang sedang sibuk mencari cincin di dalam air, Samba Paria segera mengenakan pakaiannya. Lalu, ia mengambil bungkusan berisi makanannya dan menunggangi kuda untuk menemui adiknya yang dikhawatirkan sudah meninggal.

Sesampainya di rumah, Samba Paria kaget dan panik. Ia melihat adiknya terbaring lemas tidak berdaya dengan mata terpejam. Samba Paria kemudian membuka bekal makanan yang dibawanya dan menyuapi adiknya perlahan-lahan.

Diiringi perasaan sedih bercampur haru, sang adik merasa senang melihat kakaknya kembali ke rumah. Dengan mata setengah terpejam, sambil disuapi oleh Samba Paria, sang adik perlahan mengungkapkan perkiraannya bahwa sang kakak tidak ingin lagi menemuinya setelah menjadi permaisuri raja.

Sang kakak menceritakan keadaan dirinya yang disekap dan dilarang bertemu dengan adiknya oleh sang raja. Di dalam istana, ia bahkan hanya menangis setiap hari. Tapi, ia tidak pernah lupa untuk melihat pohon kelor yang ditanam adiknya untuk mengetahui kabar sang adik. Berkat batang pohon yang layu itulah, sang kakak memantapkan niatnya untuk melarikan diri dari sekapan raja bengis itu.

Samba Paria masih dilanda kegusaran saat itu, ia tahu bahwa raja tidak akan tinggal diam begitu menyadari kepergiannya dari istana. Sangat mungkin bagi raja yang kejam itu untuk tetap mencarinya dan memaksanya kembali ke istana.

Di dalam rumahnya, Samba Paria berkejaran dengan waktu. Ia meracik beberapa biji cabai merah dan daun kelor sebanyak-banyaknya, lalu mencampurkannya dengan air dan abu dapur hingga menyerupai adonan kue.

Sesuai dugaan Samba Paria, raja benar-benar datang mencarinya hingga ke rumahnya. Saat tiba di depan rumah, ia langsung mengetuk pintu dengan sangat keras. Samba Paria segera membukakan pintu sambil membawa wadah berisi adonan cabai rawit, abu, daun kelor, dan merica. Saat pintu terbuka, ia langsung menyiramkan adonan itu ke mata raja.

Raja pun menjerit menahan rasa perih sambil mengusap kedua matanya, kini raja tidak dapat melihat lagi. Sambil terus mengusap matanya, ia berjalan. Tanpa disadari, kakinya terpeleset dan ia jatuh terjungkal ke tanah. Raja yang keji itu tewas seketika, karena tulang lehernya patah akibat terbentur batu besar di bawah tangga rumah Samba Paria.

Kabar kematian sang raja yang kejam itu dengan cepat menyebar ke seluruh negeri. Seisi negeri terkagum-kagum dengan Samba Paria, gadis belia yang mampu mengalahkan sang raja kejam. Hampir semua orang mengagungkan Samba Paria sebagai pahlawan, yang telah membebaskan negeri Mandar dari tirani sang raja zalim.

Sebagian rakyat mendesak agar Samba Paria segera naik takhta di istana untuk menggantikan raja kejam yang baru saja tewas. Samba Paria hanya tersenyum lembut dan menjelaskan, bahwa gemerlap istana tidak pernah membutakannya. Hidup tenteram bersama adiknya di rumah warisan orang tuanya, masih menjadi keinginannya.

Istana kini telah kehilangan rajanya. Begitu mendengar kabar kematian sang raja, para pengawal, ahli nujum, dan bahkan belasan permaisuri yang selama ini tersandera oleh kekuasaan istana pun pulang ke keluarga masing-masing untuk melepas rindu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *