Legenda Gunung Kelud

Dahulu kala di zaman Kerajaan, ada seorang putri cantik yang bernama Dewi Kilisuci. Sang putri merupakan anak dari Jenggolo Manik, raja dari Kerajaan Jenggolo. Karena parasnya yang cantik tersebut, banyak raja yang menyukainya. Lamaran demi lamaran pun datang ke Kerajaan Jenggolo kala itu.

Hingga suatu hari, ada dua orang raja yang juga melamar Dewi Kilisuci. Namun tidak seperti biasa, raja yang melamar sang putri bukan raja dari kalangan manusia. Seorang raja yang melamar tersebut bernama Lembu Suro, dan ia memiliki kepala lembu. Raja lainnya bernama Mahesa Suro yang berkepala kerbau. Sesungguhnya, Dewi Kilisuci tidak tertarik pada keduanya dan ingin langsung menolak lamaran tersebut. Karena tidak enak hati menolak tanpa memiliki alasan, Dewi Kilisuci pun mengajukan suatu tantangan.

Tantangan yang diberikan oleh sang putri merupakan sebuah tantangan berat yang tidak mungkin dikerjakan oleh manusia biasa, dan tantangan tersebut adalah bahwa Dewi Kilisuci meminta dua raja yang melamar tersebut membuat dua buah sumur di atas puncak Gunung Kelud.

Sumur pertama yang diminta harus berbau amis dan sumur kedua yang diminta harus berbau wangi, namun tidak banyak waktu yang Dewi Kilisuci berikan untuk membuat sumur itu. Sang putri hanya memberikan waktu satu malam saja bagi Lembu Suro dan Mahesa Suro untuk menyelesaikan tantangan yang diberikan, waktunya berakhir saat ayam Jantan berkokok di pagi hari.

Tanpa berpikir panjang, baik Lembu Suro dan Mahesa Suro menyanggupi tantangan tersebut. Waktu pun berlalu, malam sudah berganti menjadi petang dan ayam Jantan pun sudah akan berkokok. Saat melihat keadaan, Dewi Kilisuci panik karena ternyata baik Lembu Suro atau pun Mahesa Suro sama-sama mampu menyelesaikan tantangan yang diberikan. Dewi Kilisuci berpikir keras untuk mencari alasan menolak keduanya, hingga tercetus suatu ide yang menurut sang putri brilian.

Kemudian Dewi Kilisuci meminta mereka membuktikan, bahwa satu sumur memang berbau amis dan satu sumur memang berbau wangi. Dan caranya, mereka harus masuk ke dalam sumur yang sudah mereka buat.

Karena begitu cintanya dengan Dewi Kilisuci, Lembu Suro dan Mahesa Suro masuk ke dalam sumur tersebut untuk membuktikan kepada sang putri bahwa kedua sumur itu sudah selesai sesuai permintaan sang putri. Saat Lembu Suro dan Mahesa Suro ada di dalam sumur, Dewi Kilisuci memerintahkan kepada para prajurit Kerajaan Jenggala agar menimbun sumur tersebut dengan batu.

Lembu Suro dan Mahesa Suro pun akhirnya mati di sumur yang sudah susah payah dibuat sebagai tantangan lamaran itu. Setelah Lembu Suro dan Mahesa Suro mati di dalam sumur, Dewi Kilisuci sebenarnya senang karena itu artinya ia tidak harus menerima salah satu lamaran dari kedua raja itu.

Hanya saja hal yang Dewi Kilisuci tidak tahu, sebelum mati Lembu Suro sudah bersumpah dengan Bahasa Jawa, “Wong Kediri mbesuk bakal methuki wales sing makaping kaping yoiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung”.

Yang artinya, “Masyarakat Kediri suatu hari nanti akan mendapatkan balasan yang lebih besar yaitu Kediri akan menjadi sungai, Blitar akan menjadi daratan, dan Tulungagung akan menjadi danau.”

Beberapa saat kemudian, terjadi cukup banyak bencana di daerah Kerajaan Jenggala. Untuk menolak bencana yang ada, Masyarakat di Kerajaan Jenggala dan di sekitar lereng Gunung Kelud melakukan tradisi Larung Sesaji. Tradisi tersebut masih bertahan di beberapa titik di Kediri hingga saat ini, karena masih ada kepercayaan tentang bencana yang hanya bisa diatasi dengan Larung Sesaji.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *